
Kue Lapis Legit: Kue Ribuan Lapis dengan Rasa Mentega yang Kaya
Kue lapis legit bukan sekadar camilan manis biasa. Ia adalah simbol kemewahan, kesabaran, dan keahlian dalam dunia kuliner Nusantara. Dikenal juga sebagai Spekkoek dalam bahasa Belanda, kue ini telah menjadi salah satu ikon kuliner Indonesia yang paling dikenal, terutama saat perayaan besar seperti Lebaran, Natal, atau Imlek.
Tampilannya yang berlapis-lapis rapi dan rasa mentega yang kaya membuat lapis legit tidak hanya enak dilihat, tetapi juga luar biasa di lidah. Artikel ini akan mengajak Anda mengenal lebih dalam sejarah, proses pembuatan, hingga alasan kenapa kue ini begitu istimewa.
Sejarah dan Asal-Usul
Lapis legit berasal dari masa kolonial rajazeus login Belanda di Indonesia. Kata “spekkoek” sendiri berarti “kue lemak babi” karena tampilannya yang mirip lapisan lemak pada daging babi. Namun, di Indonesia, kue ini tidak menggunakan lemak babi dan justru diolah dengan bahan halal seperti mentega dan susu.
Kue ini merupakan hasil percampuran budaya: teknik baking dari Eropa bertemu dengan racikan rempah-rempah khas Indonesia. Rempah seperti kayu manis, cengkeh, dan pala menjadi kunci dari aroma khas lapis legit yang tidak tertandingi.
Ciri Khas Kue Lapis Legit
Yang membuat lapis legit berbeda dari kue lainnya adalah proses pembuatannya yang unik. Kue ini dibuat dengan cara memanggang adonan satu lapis demi satu lapis. Setiap lapisan memiliki ketebalan sekitar 0.5–1 cm dan dipanggang secara bergantian hingga membentuk puluhan, bahkan lebih dari 18–20 lapis.
Teknik ini bukan hanya memerlukan waktu dan tenaga ekstra, tetapi juga membutuhkan ketelitian tinggi. Kesalahan dalam satu lapis saja bisa mempengaruhi keseluruhan tampilan dan rasa.
Bahan dan Proses Pembuatan
Bahan Utama:
-
Telur (bisa hingga 30 butir untuk satu loyang besar!)
-
Gula halus
-
Tepung terigu
-
Mentega berkualitas tinggi (biasanya menggunakan butter premium)
-
Susu kental manis
-
Rempah-rempah: kayu manis, cengkeh bubuk, kapulaga, dan pala
Proses:
-
Pencampuran Adonan
Telur dan gula dikocok hingga mengembang. Setelah itu, bahan lain seperti mentega dan tepung ditambahkan secara perlahan. -
Pemanggangan Bertahap
Loyang diisi satu sendok adonan, lalu dipanggang hingga kecokelatan. Setelah lapisan matang, ditambahkan lapisan berikutnya, dan proses ini diulang hingga selesai. -
Pendinginan dan Pemotongan
Setelah seluruh lapisan selesai dipanggang, kue didinginkan sebelum dipotong. Biasanya, lapis legit disajikan dalam potongan kecil karena teksturnya yang padat dan rasanya yang intens.
Kenapa Kue Lapis Legit Mahal?
Harga satu loyang lapis legit bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung bahan dan jumlah lapisan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
-
Bahan berkualitas tinggi seperti mentega asli dan banyak telur.
-
Proses pembuatan yang lama dan rumit.
-
Tenaga kerja terampil: hanya orang dengan keahlian dan kesabaran tinggi yang bisa membuat lapisan yang konsisten dan tidak gosong.
Bahkan ada yang menyebut kue ini sebagai “kue premium” karena memerlukan dedikasi tinggi dalam pembuatannya.
Variasi Modern
Kini, lapis legit hadir dalam berbagai variasi yang menarik. Beberapa di antaranya:
-
Lapis Legit Prune: dengan tambahan buah prune (plum kering) di setiap lapisan.
-
Lapis Legit Keju: memadukan rasa asin dari keju dengan manisnya lapisan kue.
-
Lapis Surabaya: terdiri dari tiga lapisan kuning dan cokelat yang lebih lembut, tidak setebal lapis legit.
-
Lapis Legit Pandan atau Cokelat: menggunakan ekstrak pandan atau cokelat untuk memberikan aroma dan warna yang unik.
Meski begitu, versi klasik dengan rasa mentega dan rempah tetap jadi favorit sejati.
Kue Tradisional yang Tak Tergantikan
Di tengah gempuran makanan modern dan tren kue kekinian, lapis legit tetap bertahan sebagai simbol kelezatan klasik yang tak lekang oleh waktu. Bukan hanya soal rasa, tapi juga soal cerita di balik setiap lapisan. Mulai dari teknik Eropa, sentuhan rempah Indonesia, hingga filosofi kesabaran dalam pembuatannya—semua menjadikan kue ini warisan kuliner yang patut dilestarikan.
BACA JUGA: Bakmi Jawa: Jejak Kuliner Tionghoa yang Sudah Beradaptasi